Cerpen: Balada Persahabatan

oleh: Aby Awwabin


Dedaunan itu berkumpul pada satu tangkai, melambai bersama. Menyapa segerombolan angin yang berlalu. Lalu mereka saling bercerita tentang persahabatan mereka. Mereka saling menertawakan dan tak henti bercerita hingga mentari menghardik mereka bersama sore. Menyuruh mereka pulang, ke beranda sang Khaliq.

***

Siang ini terik sekali, menjilat setiap inchi permukaan kota, Saat sekelompok siswa SMA berjumlah 5 orang menyusuri setapak. Mereka saling bercerita, berteriak hingga bertengkar. Serasa jalanan itu milik mereka, bahkan pepohonan tua yang sudah puluhan tahun berdiri di sana tak berani menegur mereka. Pepohonan itu hanya diam, memberi mereka berlima payung sambil mengintip dengar apa yang mereka ceritakan.
“wahai sahabatku semua, aku memiliki sebuah ide yang sangat brilian, tidak akan pernah terlupakan” tukas salah satu dari mereka sambil mengibas rambutnya.
Mendengar kelakar salah satu sahabat mereka, spontan yang lain berhenti berjalan dan bertanya 
“apakah itu?”
“aku ingin kita semua botak, tapi tidak benar-benar botak, setidaknya panjang rambut kita semua sama. Detik ini juga, sekarang juga kita susuri jalan menuju tempat pangkas rambut” tuturnya yakin. Tanpa jeda.
"Kenapa harus botak?"
“tak inginkah kalian kita punya sebuah kenangan yang bahkan oleh waktu tak bisa dihapus? Kenangan tiada dua nya. Kenangan yang tidak akan pernah diinginkan oleh anak SMA laiknya kita? Botak! Dan Berlima! Kita sekumpulan lelaki menakjubkan se Aceh Tamiang.” Kelakarnya tanpa ampun.
Lalu sejurus kemudian kita tahu bahwa mereka berangkat menuju tempat pangkas bersama kenangan indah yang ingin mereka ukir.

***

Saat ini 4 dari 5 bersahabat ini sudah selesai membotaki kepala mereka. Mungkin sekarang rambut mereka sedang merangkak saling menghibur. Lalu si empunya rambut sedang saling tertawakan satu sama lain. Betapa menyedihkannya muka mereka semua dengan kepala botak. Lalu kini giliranku.

Aku memilih terakhir untuk melihat bagaimana hasilnya jika teman-temanku botak dan ternyata tidak terlalu jelek. Meski tetap saja jelek. “hahaha” aku tertawa ke arah mereka beberapa saat yang lalu.

Aku sudah duduk bersiap, dan kelanjutannya bisa kau tebak kawan, semua rambut hasil investasiku bertahun-tahun kini berguguran, kasihan sekali mereka. Aku melihat sesatu dari mereka melayang perlahan di depan wajahku. Meringis pilu, meneteskan air mata nya lalu mengiba padaku. Dia sakit, tapi tidak sakit karena dipotong dari akarnya, karena Tuhan tidak menciptakan indera perasa untuk rambut. Tapi dia pilu karena harus terpisah dari kepalaku. Karena di sanalah ia terbiasa di cuci dan dibersihkan. Lalu apa nasib mereka nanti? Terlantar kah? Ah bukan urusanku. Seharusnya aku lebih memikirkan kepalaku.

Lalu benar saja, sejurus kemudian, bersamaan dengan detak masa yang seperti berhenti. Sebuah bunyi terdengar “krakk” dan penampang karet mesin pencukur patah. Dan dengan lahapnya mesin pencukur itu menghabis setiap bagian dari rambutku yang tersisa. Habis. Tak bersisa. Dan di kaca itu aku lihat waktu berhenti. Sahabatku berhenti bercerita dan tukang pangkas kehilangan kata-kata.

Aku emosi, “gimana ini? Apaan-apaan ini, kepalaku. Hei, apa yang kau lakukan?” teriakku penuh iba.
Lalu sepontan tukang pangkas itu bergerak ke bawah. Mengambil rambutku yang sudah terpotong tadi dan menempelnya kembali ke kepalaku. Cerdik.

***

Malam nya aku tak bisa tidur, aku terus memikirkan reputasiku sebagai siswa terpandang di sekolahku. Bagaimana jika semua ini merubah segalanya? Aku khawatir, aku terus menghitung detak hingga ujung malam dan tak jua bertemu solusi.

Esok pagi ketika aku akan berangkat ke sekolah, saat paling menakutkan bagiku. Saat aku sudah putus asa dan mungkin saja ini hari terakhirku menjadi siswa yang paling dicari oleh gadis-gadis belia seumuranku. Saat itu juga ibuku datang seolah peri bagi lala dalam sebuah sinetron.

“kenapa nak?”
“ini ibunda, kepalaku pitak, seorang tukang pangkas pelakunya”
“ah tenang saja, ibu punya celak”
Lalu ibu mengoleskan celak di kepalaku yang telah pitak itu, dan hasilnya adalah..

“wah boy, tak ada yang lagi tanda pitakmu? Dimana kau menemukan keajaiban dalam semalam?”
“ah siapa yang memberimu solusi? Celak ini benar-benar ampuh boy”

Dan akhirnya statusku sebagai seorang parlente tak jadi melayang. Dan benar saja seperti temanku katakan. Ini menjadi kenangan yang hingga kini melekat di ingatanku. Ternyata bukan karena botak yang kami inginkan. Tapi karena pitak yang tak sengaja singgah.



Oktober 2013

Diambil dari kisah seorang sahabat dengan beberapa penambahan.

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment

Bagaimana Menurut mu? :)