Aku Sungguh (Ingin) Pulang




1.

Kau tau apa yang paling memilukan dari berada ribuan kilometer dari tempat mu terlahir? Ingin pulang. Bagi perantauan sepertiku, ingin pulang adalah hal sederhana paling rumit. Sederhana saja karena pulang adalah kembali kepada rumahmu sendiri, bukan mendatangi tempat asing seperti berangkat merantau, tapi menjadi rumit jika kau berada 2523 Km dari rumahmu, setidaknya begitu menurut distance direction city.

2.

Rumahku berada di sebuah perkampungan muslim satu-satunya di Bali. Kami dipanggil oleh orang Bali asli yang ber-agama hindu sebagai “nyame selam” yang artinya saudara islam. Dan kami memanggil mereka sebagai “nyame Bali” atau Saudara Bali. Kami hidup sangat rukun, meski kami memiliki perbedaan agama tapi kami hidup berdampingan dalam kesesuaian budaya dan rasa.

3.

Ayahku seorang petani yang menggarap tanah bukan miliknya, dia tinggal di sebuah rumah yang juga bukan miliknya, dia bahkan tidak membawa apa-apa saat melamar ibu-ku selain agama. Di banding lelaki lain yang menjadi saingannya, dia hanya unggul dalam hal agama, maka ibu ku memilih dia sebagai suaminya. Umur mereka berbeda jauh, meski sampai sekarang aku tidak tahu persis nya karena zaman dahulu di desa ku tidak ada catatan sipil, begitu juga listrik.

4.

Kau tau apa yang paling aku rindukan dari desa ku? Suara mengaji dan sholawat di shubuh dan maghrib hari. Anak anak bersholawat dengan pengeras suara di tempat mereka mengaji. Di pusat desa ada 4 sumber suara sholawatan, 3 tempat mengaji dan 1 dari masjid kebangaan kami: Masjid Syafinatussalam

5.

Desa kami adalah desa yang penghasilan nya setahun sekali, selebihnya kami mengaji dan mengaji. Ahli agama adalah kebanggaan keluarga disini, para orang tua mengirim anak-anak nya ke pesantren-pesantren agar mereka ahli agama, lalu pulang menjadi ulama. Setiap tahun kami panen cengkeh, inilah penghasilan utama desa kami. Wisata? Kami sama sekali tidak memikirkannya, kami sibuk dengan kajian agama, kami ingin generasi desa kami lebih mengutamakan agama dibanding materil, dibanding bersolek seperti selebritas televisi.

6.

Setiap kali aku pulang, aku selalu rindu madrasah ibtidaiyah tempatku dahulu sekolah, tempat ini-lah yang mengajarkan ku banyak hal, menulis, membaca, upacara, berkelahi, main karet, sopan santun dan masih banyak lagi. Aku selalu tak mampu menahan haru saat aku melewatinya, seolah-olah aku melihat diri ku berlari lari di halamannya, badan kurus, rambut kucel penuh debu, celana merah, dan baju putih yang sudah coklat. Aku sungguh rindu.

7.

Aku menghabiskan sebagian besar waktu-ku di perantauan kawan, aku hanya 11 tahun di desaku, sisanya aku berada jauh ribuan kilometer dari sana, demi cita-cita mengharumkan desa muslim satu-satunya di Bali. Aku ingin orang-orang tau bahwa meski desa kami kecil, berada dalam wilayah mayoritas bukan islam, kami mampu menunjukkan kualitas kami. Kami umat islam tidak akan ikut minum-minuman keras seperti agama lain, pemuda-pemuda kami tidak akan mendatangi tempat prostitusi karena mereka mengerti agama. Tidak ada kata pacaran di desa kami. Sungguh! Setidaknya begitu menurutku yang ribuan kilometer ini.

8.

Sungguh aku amat sangat rindu, aku ingin bertemu ibunda dan memeluk nya. Aku ingin bertemu sanak saudara, tersenyum dan saling berkasih. Kami desa muslim. Kami tidak akan kehilangan identitas kami hanya karena harta dunia, apalagi meniru perilaku sinteron murahan. Korupsi? Jauh lebih tidak mungkin terjadi di desa kami. Desa kami amatlah baik.



Rindu, aku amat rindu.

Padang Bulan, Medan 2015

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment

Bagaimana Menurut mu? :)