Ketika Isu Sektarian Menjadi Senjata (Repost)


Para santri sudah berbaris rapi dan bersiap untuk karnaval 17 Agustus yang akan mereka laksanakan Rabu (11/09/2013). Namun, Karnaval itu jadi tampak bukan karnaval pelajar yang biasa. Pasalnya, barisan polisi terlihat telah membarikade rombongan karnaval yang terdiri dari para siswa dan orang tua dari tingkat PAUD sampai SMA. Mereka, para siswa yang tidak mengerti tentang konflik yang terjadi hanya dapat bertanya-tanya, “Memang apa salahnya karnaval hari kemerdekaan?”,“Bukankah kita sedang merayakan hari kemerdekaan yang sama?” “Mengapa di negeri yang merdeka kami tidak boleh ‘merdeka’ untuk melakukan kegiatan pesantren kami?” , Apakah kami harus terisolasi dan mengalah lagi untuk kelompok kecil yang menuduh Guru kami?

Kabar bahwa polisi tidak mengijinkan kegiatan karnaval karena situasi yang kurang kondusif memang sudah terdengar. Ada beberapa warga yang menolak kegiatan pesantren Darusholihin untuk keluar pondok. Padahal persiapan sudah dari jauh-jauh hari. Para santri sudah terlanjur senang bahwa akhirnya mereka bisa mengadakan kegiatan diluar pondok lagi. Setelah berbulan-bulan menerima larangan ini itu dari luar pesantren untuk tidak mengadakan kegiatan ke luar pondok. Siapa yang suka kondisi terkekang seperti itu di lingkungan pendidikan? Bukankah kita konon masih saudara? Saudara setanah air, saudara semuslim, atau paling tidak, saudara sesama manusia.

Pihak berwajib sudah memberitahu ketua pelaksana karnaval, yaitu Habib Isa Mahdi bahwa sebaiknya karnaval tidak dilaksanakan. Pemberitahuan itu datang H-1 karnaval, saat para siswa yang terdiri dari PAUD, TK, SD, SMP dan SMA yang saat pemberitahuan datang, sudah pulang ke rumah masing-masing. Bagaimana cara memberitahu mereka bahwa pesantren dilarang mengadakan acara diluar? Karena, pelarangan semacam ini sebelumnya telah terjadi berkali-kali dan membuat Santri kecewa. Pondok Pesantren yang terletak di kecamatan Puger Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur ini seolah tidak boleh bergerak dalam hal apapun sejak Isu Sektarian dihembuskan pihak Habib Almuhdor. Selama ini, pondok pesantren itu sudah banyak ‘mengalah’.

Polisi berjaga dengan kawat berduri untuk mengantisipasi agar karnaval jangan sampai dilaksanakan. Orang tua dan warga yang mendukung terlaksananya karnaval itu merangsek maju. Semangat mereka untuk menghentikan pengekangan kegiatan yang selama ini terjadi lebih kuat dari barikade kepolisian. Barikade bubar, Karnaval dilaksanakan.

30 menit kemudian, pondok pesantren yang kini sudah sepi ditinggal oleh penghuninya untuk karnaval tiba-tiba diserang. Sekitar 30 orang massa mengacungkan celurit dan menghancurkan bangunan pondok pesantren. Atas nama memurnikan ajaran Islam, mereka telah merusak 41 motor dan membakar 3 motor milik siswa dan orang tua murid yang terparkir di halaman parkir ponpes serta merusak apa saja yang bisa mereka rusak.

Warga tidak tinggal diam, mereka melawan orang-orang yang mencoba menghancurkan pondok pesantren. Hampir semua tempat di setiap sudut pesantren telah dihancurkan. Mulai dari masjid, ruang kelas hingga kamar Santri. 1 orang dari pihak penyerang bernama Eko Mardi Santoso (45) meninggal. Hingga kini, tidak jelas celurit siapa yang telah mengenainya. Korban luka dari kedua belah pihak pun juga tidak sedikit .

Lagi-lagi masih tentang Provokasi sektarian
Habib Ali bin Umar Al Habsyi adalah pemimpin pesantren Darussholihin yang mengajarkan tentang damainya Islam tanpa saling mengkafirkan. Ia selama ini memang rajin menyuarakan masyarakat untuk tidak membenci kaum Syiah Imamiah karena antara tradisi Sunni dan Syiah sejatinya memiliki banyak kesamaan. Bahkan, sebagai pembuktian bahwa Syiah dan Sunni memiliki akar aqidah yang sama, Habib Ali terkadang tak segan-segan mengutip beberapa bahan pengajaran dari ajaran Syiah agar para Santri mengetahui bahwa syiah di sisi Sunni bukanlah aliran yang sesat seperti yang selama ini di dengungkan oleh Habib lainnya.

Paham seperti inilah yang diajarkan kepada para siswa dan warga untuk terus menjaga kerukunan antar mazhab. Mengajarkan Islam tanpa saling mengkafirkan golongan ini membuat Habib Ali memiliki posisi penting di masyarakat sebagai Habib terpandang. Islam dengan wajah damai ini yang justru dianggap sesat oleh penyerangnya. Rupanya, ada sebuah anggapan bahwa jika seseorang menolak untuk mengkafirkan golongan lain demi kerukunan beragama, maka Ia dianggap sebagai bagian dari golongan tersebut. Karena Habib Ali dituduh sebagai Syiah, Ia dan semua orang di ponpesnya, pantas “dihukum”.

Ketika Habib Melawan Habib
Habib Muhdor, salah satu Habib yang menyulut adanya peristiwa tersebut memang getol mempromosikan kesesatan Syiah Imamiyah. Ceramahnya yang dihadiri oleh banyak santri menjadi ajang untuk menyesatkan Syiah Imamiah (Lihat Link videonyadisini). Dalam hal ini, Ia merasa perlu menyorot langsung Habib Ali sebagai pimpinan pondok pesantren Darusholihin yang sering mempromosikan persatuan Islam serta menonjolkan persamaan Sunni dan Syiah. Apalagi, banyak masyarakat yang lebih memilih pesantren Habib Ali untuk mendidik anak-anaknya,

Dalam sudut pandang masyarakat demokrasi, mengkafirkan golongan lain dan memprovokasi serangan apapun kepada yang lainnya adalah bagian dari hate speech. Hal tersebut tidak dapat ditolerir oleh demokrasi dimanapun. Apalagi jika kita berbicara mengenai Bhineka Tunggal Ika yang selama ini kita junjung tinggi.

Seandainya Habib Ali memang Syiah, Ia tetap tidak boleh dijadikan obyek penyerangan. Apalagi Habib tersebut ternyata bukan syiah, melainkan Sunni Syafei. Bukankah itu justru malah menuduh (baca : memfitnah) sesama muslim? Habib Al Muhdor yang sering disebut oleh santrinya sebagai Mujahid Ahlussunah ini pun memulai perang Habib lawan Habib. Atau bisa saja kita sebut sebagai perang Sunni melawan Sunni. Inikah wajah Islam yang ingin kita saksikan?

Jika kita lihat ulang, Habib Ali bin Umar Al Habsyi bukanlah orang pertama yang menyatakan bahwa syiah bukan kafir. Almarhum Gusdur, Prof. Qurays Shihab, KH Said Aqil Siraj dan masih banyak lagi ulama Ahlussunah wal Jamaah juga mengamini sikap Habib Ali ini, bahwa Syiah tidak sesat.

Sederhananya, siapa yang lebih NU dari Gusdur sehingga berani membuat pernyataan yang berlawanan dengannya yang berkaitan keislaman kaum syiah? Siapa yang lebih NU dari KH Said Aqil Siraj hingga mampu memiliki pendapat sendiri mewakili Sunni tentang Syiah?

Bagaimana bisa, seorang Sunni mengkafirkan Sunni lainnya lewat provokasi sektarian (yang tidak terbukti) dan menghancurkan pesantren yang mengajarkan keilmuan Sunni di dalamnya?

Baiklah, di akhir tulisan, saya ingin bertanya pada anda. Jika anda memilih, wajah Islam mana yang anda inginkan. Dakwah ala Habib Ali yang mengajarkan perdamaian dan persatuan Islam, atau Dakwah Habib Muhdor yang menggunakan Celurit?

sumber: SyaharBanu

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment

Bagaimana Menurut mu? :)