Berkalang Rindu

Menemukan rindu pada reruntuhan kenangan itu terkadang membuat pandora kita kembali menyeruak keluar, memenuhi dada dengan sekumpulan sesak yang mengaduh menindih, meminta perhatian. Apalagi ketika kita harus berlayar pada riak kenangan yang bahkan belum lama kita tinggalkan, jejaknya masih sangat jelas. Hangat. Membekas pilu pada setiap pintu yang imajinasi ciptakan pada bilik-bilik hati kita. Lalu dia akan berdiaspora menjadi bias pada selaput dihadapan mata kita dan mengalir hangat menuju pipi kita. Terkadang juga, tak mengalir disana, tapi di bagian yang paling mengagungkan ke-sejatian rindu. Hati.

Beberapa hari yang lalu saya terbang menuju sebuah kota, yang mungkin sangat digemari para pecinta puisi. Di kota ini hujan menjadi keseharian, tak pernah berganti, tak pernah di-dua. hujan-lah satu-satunya pemilik kota ini, memiliki setiap relung yang ada. Bogor.

Kota ini menyisakan banyak sekali kenangan saat saya meninggalkannya beberapa tahun yang lalu, bukan waktu yang lama untuk tumpukan kenangan yang menggunung begitu tinggi memenuhi langit-langit ingatan. Tiga tahun. lalu saya kembali dalam rangka mengikuti sebuah konferensi nasional, bukan hal yang biasa memang, tapi jadi jauh lebih spesial jika saya coba menyibak lembar demi lembar yang saya simpan dahulu di kota ini.

saya datang ke kota ini tepat pada pertengahan tahun 2005, sebagai seorang penerima beasiswa sekolah menengah. Membanggakan dan juga membawa banyak sekali perubahan pada cara saya memaknai kehidupan. Saya menemukan keluarga baru, yang bahkan belum pernah angin desa saya sapa sebelumnya. Kami berbeda pulau.

Saya jadi yakin akan satu hal bahwa saat kita terlahir, di belahan bumi lain juga sedang-akan-sudah terlahir anggota keluarga kita yang lain. Tidak memiliki ikatan darah, jua kekerabatan tapi akan menjadi penghangat yang sangat bermakna pada setiap musim dingin kehidupan kita, jua menjadi payung yang sangat sendu pada setiap sedih penghujan kehidupan kita.

Setelah tiga hari saya mengikuti acara nasional tersebut, saya sempatkan kembali menapaki nostalgia di sekolah saya tersebut. Sungguh sebuah karunia yang tak dapat dikuaskan pelukis ketika saya menjejak di sana. Sontak semua rekaman kenangan seolah terputar kembali di hadapan saya, meliuk lalu menyambar kesadaran saya. saya terbang pada memoar 8 tahun lalu. Ketika seorang bocak kurus menggunakan setelan baju kotak-kotak berwarna biru turun dari mini-bus dalam keadaan wajah sedikit kacau. Tentu saja, anak desa ini mabuk darat, dia muntah sepanjang perjalanan. Dia melangkah tanpa beban, seolah 5 tahun setelahnya tidak ada tanggung jawab berat yang akan dia tanggung ketika meninggalkan sekolah ini.

Saya lalu coba melangkah lebih jauh, tiba di depan lemari kumpulan piala yang berjejer di samping koridor gedung biru sekolah ini, lalu memoar lain mencoba hinggap. Terlihat disana seorang kurus memakai setelah baju koko putih hasil pinjaman, sedang menenteng piala bersama dengan beberapa teman lainnya. Dia baru pulang dari perlombaan se-jabodetabek, dan pada piala-nya lamat-lamat terbaca tulisan “Juara 2 Khitobah Bahasa Arab”. Wajahnya begitu sumringah, piala pertamanya di sekolah nasional dan bergengsi ini. Tak dinyana beberapa piala lain berhasil ia persembahkan setelah itu.

Ah terlalu banyak kenangan yang di-filmkan, baru beberapa meter saya memasuki pekarangan sekolah ini. Sungguh sebuah kunjungan yang menghabiskan banyak sekali tiket, jika semua film itu bernilai seperti di bioskop. Ah tidak, film ini jauh lebih mahal, karena sutradaranya adalah Pena-Nya yang menggores di lauhul mahfudz dahulu.

Rencana 2 hari kunjungan saya di sekolah ini langsung saja terasa begitu cepat, tentu saja karena saya mulai merasakan banyak hal harus saya telusuri agar reruntuhan kenangan ini kembali menjadi sebuah bangunan. Tersusun rapi dan dapat saya tinggali sebagai pengingat agar setiap kali saya melangkah, ada tanggung jawab besar yang saya bawa kemana-mana.

Esok harinya saya menghabiskan hari dengan berbincang-bincang dengan banyak lentera kehidupan yang dahulu membimbing saya dengan sangat ajaib. Tentu saja, mereka memiliki kesabaran bak malaikat menghadapi anak-anak pembangkang seperti saya. ah rasanya malu jika saya harus mengenangnya. Tapi bagaimanapun saya harus segera mengucapkan terima kasih pada kunjungan saya hari ini. Saya merasa sudah sangat tidak berbudi dahulu seringkali melawan dan berbuat tidak patut di hadapan lentera-lentera perjalanan hidup ini.

Saya coba mengunjungi masjid untuk menunaikan ibadah dhuha, mencoba mempersiapkan diri agar hati saya baik dan tidak melakukan cela saat harus berbincang dengan para pemilik sayap malaikat ini. Setelah itu saya coba menyusuri gedung sekolah ini, mencoba bersua dengan semua guru saya, dan tak di sangka –memang beginilah lentera kehidupan, sayap malaikat mereka senantiasa terkepak- ternyata sambutan guru-guru saya begitu mengharukan, semua yang bertukar pandang dan berpapas wajah dengan saya memberikan senyum terbaik dan sambutan yang sangat lembut. Ah hampir saya tak mampu melukiskan ekspresi di wajah saya, benar-benar haru yang menderu.

Belum lagi bagaimana guru yang sudah saya anggap sebagai ayah dan ibu ini menyambut saya dengan mengajak ke rumah nya dan memberikan saya kesempatan untuk bercerita banyak hal tentang kehidupan saya di perantauan. Ini adalah kenangan yang tergores di atas kenangan, saya tak tau lagi bagaimana melukiskan kebahagiaan yang Allah karuniakan kepada saya selain mencoba terus mendoakan mereka pada setiap tiang agama yang telah Allah tetapkan setiap hari. Semoga Allah senantiasa memeluk mereka dengan keajaiban kehidupan dan keberkahan yang menawan.

sungguh kerinduan itu kini begitu niscaya, justru saat saya telah mengunjunginya kembali, bahkan saat saya bertatap muka dengan-nya. Kerinduan tetap saja manis, membuat rindu. Seandainya waktu adalah gulungan benang, maka rindu ini adalah warna benang tersebut, ada dan begitu terasa pada setiap inchi kehidupan. Bahkan saat saya harus kembali menarik selempangan perjalanan saya dan kembali pada pangkuan perantaun, tetap saja rindu itu memenuhi rongga dada saya. menyesakkan dan memaksa terus hingga ia mencair pada sudut mata. Hangat membasahi jendela pesawat yang lepas landas meninggalkan kenangan dan terbang melesat menuju cakrawala kehidupan dengan sayap harapan dan keberanian. Keduanya membawa pesawat ini melesat menuju rahimnya, untuk terlahir menjadi selaksa pemaknaan yang berbudi.

Lalu kini saat saya berkalang rindu pada kenangan, saya akan terus menata harap pada rimbun hujan yang membasahi setiap rongga harapan. Lalu menyulamnya menjadi karya kehidupan yang lebarnya bisa memberi payung pada setiap insan di sekeliling.

Foto di depan gapura sekolah

Selaksa Rindu
November 2013, Medan

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

2 comments:

  1. T.T bahkan bagi yang membaca pun ada setetes riak hangat yang mengalir syahdu. haru.
    saya tau, hati yang menggores tulisan ini.
    4 jempol untuk abi

    ReplyDelete
    Replies
    1. T_T
      iya kak :)
      terima kasih sudah membaca, surat cinta untuk para guru :)

      Delete

Bagaimana Menurut mu? :)