Sebongkah Senyum


“Kini aku mengetahui siapa diriku, aku berasal dari setetes air yang hina, lalu akan menjadi sebujur bangkai yang busuk. Kini aku berada di antara keduanya, kesana-kemari membawa kotoran.”

Selayaknya seorang sahabat, kita akan senantiasa hadir di kehidupan seseorang sebagai pelengkap. Kita jua ingin merasakan hal yang sama terjadi kepada diri kita. Merindukan seorang sahabat yang senantiasa datang dengan senyum merekah merah, seorang yang tersenyum dengan wajah penuh sendu, wajah yang senantiasa dalam sujud di sepertiga malamnya, jua tertunduk ruku’ khusyuk di waktu yang sama. Kita merindukan wajah-wajah merekah merah tersebut, karena terlihat begitu indah laiknya merah milik bugenvil.

Ketika kita menyadari betapa kita merindu kebaikan dan kesenduan tersebut dari orang lain, maka saatnya kita juga menyajikan hal yang sama dari dalam diri kita. Sepatutnya memang kita tidak mengharap sesuatu dari apa yang kita perbuat, tetapi dalam kehangatan cinta, kita senantiasa merindu hal itu jua tersaji untuk kita. Tapi bukan berarti jika itu tak tersaji lalu kita berhenti, karena sepatutnya dalam membina sebuah hubungan kita harus menyadari siapa diri kita, lalu memberi yang terbaik untuk orang lain.

”..Di antara kotoran dan darah, ada susu yang khalis, -ikhlas, murni-, mudah ditelan bagi peneguknya..” (An Nahl 66)

Lalu kebaikan yang senantiasa kita tebar haruslah bernilai khalis –ikhlas sehingga menjadi mudah bagi orang lain untuk mencernanya, laiknya susu yang khalis, mudah dicerna, padat manfaat, dan nikmat benar rasanya. Begitulah seharusnya kebaikan mengudara, begitulah seharusnya kebaikan dilakukan. Ah sungguh tidak nikmat jika susu yang demikian bermanfaat harus kita teguk dalam keadaan berisi nanah di dalamnya, tak nampak tapi begitu berbahaya, jikapun mampu kita telan, ia akan membawa penyakit, tak nikmat rasanya, dan menguap manfaatnya.

Karena laiknya tubuh yang membutuhkan makanan, hati juga membutuhkan asupannya. Maka sejatinya kita sebagai insan beriman senantiasa memberikan hati kita asupan yang baik, bermanfaat dan tepat. Asupan hati yang baik akan membuat hati kita melembar kebaikan tiada henti, mencatat keikhlasan tak tertara murni.

“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu ….” (Ali Ibn Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)

Lalu kita mengerti bahwa asupan hati yang paling baik adalah ilmu, karena sang pintu ilmu Ali radhiallahu ‘anhu melanjutkan: 

“….Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara….”

Maka mari berdoa agar kita termasuk di antara 2 golongan dari 3 golongan tersebut. Bagian dari orang-orang yang senantiasa haus akan ilmu, golongan orang yang senantiasa mau belajar, tidak pernah berpuas diri dalam hal ilmu –bukan tidak pernah berpuas diri dalam harta- dan senantiasa hidup sederhana dalam setiap ukiran menuntut ilmu yang dijalani. Karena sungguh menyedihkan jika kita masuk ke dalam golongan yang ketiga, sungguh kita tidak ingin menjadi bagian yang ketiga, hanya mengikut apa yang ada di hadapannya, tidak ingin memenatkan diri dalam belajar, tidak ingin berpeluh dalam berusaha. Karena menurut Ali beginilah bagian ketiga:

“….Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.” (Hilyah al-Auliya 1/70-80).

Maka sahabat sekalian, keinginan kita untuk terus menuntut ilmu haruslah kita pupuk dengan sangat baik. harus kita pupuk dengan pupuk terbaik yaitu keimanan dan keinginan meraih MardhotiLlah. Sehingga setiap kebaikan melalui ilmu kita menjadi manfaat yang tak berkesudahan, dan tercatat sebagai bagian dari 3 yang dibawa anak adam ke dalam lahatnya kelak. Lalu yang terbaik dari memberi diri ilmu juga menyeimbangkannya dengan hati yang senantiasa ditempa dengan keikhlasan. Maka bangun di sepertiga malam adalah sehelai putih yang Allah sediakan untuk kita selami, menempa hati agar tak mencintai najisnya riya’ dan hinanya ujub. Lalu berikanlah sebongkah senyum terbaik untuk para sahabat kita, sebongkah senyum yang menyiratkan sujud kita di sepertiga malam, jua senyum yang senantiasa mengiringi semangat kita menuntut juang dalam ilmu.

Tapi jangan biarkan sedikit pun kesombongan menyelip se-inchi pun dalam semangat kita menuntut ilmu, karena bersama kita tahu bahwa tingkatan penuntut ilmu sebagaimana disampaikan oleh `Abdullah bin al-Mubarak, tingkatan pertama adalah orang yang sombong, lalu tingkat kedua adalah orang yang tawadhu’ dan tingkat paling baik lagi mulia adalah tingkat ketiga yaitu orang yang sadar dirinya belum mengetahui apapun.

“Untuk menjadi seorang pahlawan cukup dibarengi dengan memiliki 3 syarat, yaitu bekerja lebih banyak daripada bicara, berpikir lebih banyak daripada bicara dan berjalan lebih banyak daripada duduk." -Anis Matta

Sepenuh Cinta
November 2013

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment

Bagaimana Menurut mu? :)