Saat Merantau,Tak Ada Waktu Merindu Yang Lain


Anda pernah berada ribuan kilometer dari tempat anda pertama kali mengoek sewaktu kecil, maka anda sedang merantau. Dan saya sedang merantau. Tapi merantau memiliki hakikat yang berbeda buat saya, setidaknya berbeda dengan yang ada dalam film merantau yang isinya adegan saling jotos sepanjang cerita film. Saya merantau untuk belajar.

Saya ulangi, “saya merantau untuk belajar”. Itu poin pentingnya, tapi justru itu yang seringkali terlupa. Hehe. Tapi tidak mengapa, karena yang seringkali terlupa adalah “belajar” dengan definisi pulpen dan kertas, tidak terlupa untuk definisi “makna dan sikap kehidupan”.

Merantau bagi saya adalah sebuah keharusan, juga kebiasaan. Saya merantau (yang artinya tidak lagi tinggal di rumah) semenjak saya menginjak kelas 1. Yak kelas 1, tapi bukan kelas 1 SMP apalagi kelas 1 SMA, tapi semenjak kelas 1 SD. Saya tidak pernah TK, mungkin jika saya pernah TK maka saya sudah memulai kata “merantau” dari semenjak TK, semenjak kata itu belum masuk ke dalam lapisan korteks otak saya.

Karena saya menulis ini dalam keadaan merindu berat untuk pulang, jadi saya ingin membahas tentang bagaimana rasanya mencicip rindu saat anda jauh dari rumah. Jauh dari kampung halaman. Jauh dari sarapan pagi tepat waktu, dan tidur malam dengan kelambu.

Ketika kita berjejak ribuan kilometer dari jejak ibunda kita, maka kerinduan itu akan semakin menyeruak. Seperti bunga seruni yang mekar di pelataran benak kita. Ia akan semakin mekar dan berkembang memenuhi setiap bagian. Ia subur untuk terus tumbuh. Pupuknya adalah jarak itu sendiri. Maka rindu berpupuk jarak adalah rindu paling payah untuk diatasi.

Saat anda merantau, merindu adalah realiti, suatu hal yang pasti. Merindu adalah kumbang bagi mekarnya bunga kehidupan. Selalu datang menyapa, lalu dengan sadis menyedot sari-sari kesadaran, lalu terbang saat tak lagi tersisa. Merantau dan merindu adalah sebuah kosakata. Bukan sebuah sukukata. Mereka sama, merindu dan merantau adalah sama dengan.

Maka saat merantau, tak ada waktu lagi untuk merindu yang lain selain wajah ibunda, selain wewangi sambal-nya. Tak ada waktu untuk mengagumi senyum lain selain senyum ibunda, seruat senyum si kecil ponakan. Tak ada aroma yang dirindui selain aroma basah halaman rumah yang disiram, selain aroma selimut di rumah kakak yang hangat. Tak ada waktu mengagumi akhwat berwajah serius itu, semua kekaguman adalah rindu pada kampung halaman. Pada canda adinda di rumah, jua ponakan kembar yang bayi. Sungguh, tak ada waktu merindu yang lain.

Abi Awwabin
Padang Bulan, April 2014

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

3 comments:

  1. Jadi kangen ortu nih ... ;-(

    johanfjr.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisanya cuman pas Januari doang kan??? Tapi nggak papa sih. Rasa kangen ini akan dibalas dengan senyuman orang tua disaat sukses kelak. :D

      Delete

Bagaimana Menurut mu? :)