Mendengar Fajar


Kalau belum pernah terjaga saat fajar mulai menggeliat, kau harus pernah mencobanya. Itu tepatnya saat alarm brengsek di kamar sebelahku mulai melolong. Saat si pemilik masih menarik lagi ingus yang ada di hidungnya. Mengelap lalu lagi terlelap.

Kau pernah menyeruput aroma fajar? Rasanya begitu suci. Hangat tapi menggigilkan. Memenuhi rongga dada dengan kepastian. Gelap tapi tidak pengap. Memenuhi pelupuk mata dengan kesyahduan.

Aku pernah ketika fajar mulai menggeliat di atas atap rumahku, aku berlari ke atas. Menemui dirinya yang sedang duduk termenung. Siluetnya berkelat-kelit di ujung langit, lalu kadang terjerembab dalam pelukan mendung. Lelah lalu lemah.

Dia menatapku nelangsa, penuh pengharapan dan kesenduan. aku balik menatapnya, iba. Lalu suatu saat yang lain aku sempat duduk berdua dengannya. Duduk di tepi jendela malam. Duduk bersisian sambil menendang-nendangkan kaki kami ke udara. Lalu ia akan terus bercerita.

Aku tau betapa fajar merindu senja. Selama beratus abad mereka terpisah. Sang fajar tak lagi pernah tahu dimana senja berlabuh. Setelah terakhir kali mereka bersama sebelum ledakan besar memisahkan mereka.

Senja beraroma aurora selalu menarik buatku. Dan senja yang menawarkan jingga juga tak kalah menggemaskan bagiku. Warna mereka begitu indah. Pantas, mereka adalah dua keindahan yang dimiliki oleh sudut hari. Pagi dan Senja.

#Bersambung

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment

Bagaimana Menurut mu? :)