Jika Besar Nanti, Saya Ingin Menikah Dengan Meyda Safira



pada malam yang meratap pelan
aku titipkan anak-anak rindu berlarian
aku masih berharap kita bisa duduk berhadap-hadapan
sambil menghirup menikmati seseduh teh krisan


jika kita saat ini sedang mengendarai sebuah mobil, kemudian jalan yang kita lalui dalam keadaan berkabut serta hujan lebat. Maka apa yang akan kita lakukan? Sibuk menyalahkan jalan yang tidak terlihat atau kita sibuk membersihkan kaca mobil kita yang menghalangi kita dari nampaknya jalan tersebut? Pastilah kita memilih yang kedua.

Nah begitulah garis kehidupan kita. Kita sedang dalam sebuah trip penting menuju sebuah tujuan nan mulia. Hanya seringkali karena kabut keburukan kita, jua karena lebatnya maksiat kita. Kaca hati dan iman kita menjadi kabur dan samar. Menutupi kilat-kilat lampu jalan kehidupan, jua mengurangi jarak pandang kita akan jalan kebenaran. Padahal semua yang kita cari sudah ada di sana, di jalanan tersebut. Warung ada, minimarket ada, rumah singgah ada. Semua ada, namun kita seringkali merasa tidak ada lagi jalan keluar karena tertutup kabut kita sendiri.

Maka sepatutnya seorang yang beriman, yang harus kita lakukan adalah membersihkan kaca tersebut, menyalakan lampu depan kita kemudian berjalan perlahan. Tenang saja, jalan itu sudah ada. Hanya saja sebelumnya tertutup kabut. Jalan kehidupan, kebenaran, solusi, jawaban atas setiap keterbatasan kita sebenarnya sudah ada. Tapi maukah kita mengakui lalu membersihkan diri kita, sehingga hilanglah penghalang-penghalang yang mengurangi jarak pandang kita akan jalan tersebut.

Jika kita yang hina ini mau sedikit saja mengakui, kita sebenarnya sangat tahu apa yang menyebabkan kabut melayang menguasai pandangan iman dan hati kita. Hanya seringkali pembenaran kita agar terlihat mulia menghalangi kita untuk mau berendah hati mengakui setiap kealfaan kita.

Setiap kita pada hakikatnya hina dina, berlumur dosa dan penuh maksiat. Hanya saja Allah dengan Maha Cinta-Nya menutupi setiap aib kita sehingga kita nampak mulia di hadapan segenap pribadi yang lain. Lalu dengan itu seringkali kita merasa benar-benar mulia, kita lupa Allah menolong kita.

Maka jika kita yang serba riya’ dan pamer ini mau sedikit saja merendahkan hati untuk mengakui setiap pertolongan Allah kepada kita. Setiap sesuatu yang mengundang keburukan tak akan mampu membuat kita melakukan keburukan juga. Karena kita tahu bahwa kita memang hina, jadi jika ada orang yang menghina kita, bukan malah kita balas menghina tapi menjadikan itu berkah kehidupan.

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri (An nisa 79)

Kalau ada orang yang datang kemudian menghina kita, itu tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah jika kita salah menanggapi penghinaan tersebut. Jika ada orang yang menipu kita, itu juga tidak berbahaya, yang berbahaya adalah jika kita salah menanggapi penipuan tersebut. Jika tanggapan kita justru sama buruknya dengan perbuatan kita maka sebenarnya keburukan itu memang kita undang melalui keburukan-keburukan yang kita gelar dalam hidup kita. Tapi jika tanggapan kita adalah tanggapan yang semakin mendekatkan diri kita kepada Allah, maka itu-lah jalan kebaikan.

Ingat, sebuah teko hanya akan mengluarkan dari corongnya apa yang ada di dalam tubuhnya. Jika teko itu berisi kopi yang manis, maka tertuanglah kopi yang manis. Jika dalam teko itu berisi seduhan teh yang nikmat, maka itulah yang tertuang dalam secangkir pagi kita. Tapi jika yang ada di dalam teko itu adalah air comberan, maka hanya itu yang bisa dikeluarkan oleh teko tersebut. Teko itu tidak akan bisa mengeluarkan air-air yang membawa kebermanfaatan, karena memang hanya itu yang dia miliki. Nah, begitulah kira-kira manusia.

Satu-satunya kunci agar kita senantiasa berprilaku hanif nan mulia. Memperlihatkan akhlaq kebaikan dan bertindak dengan ahsan, adalah membersihkan isi yang ada di dalam diri kita. Di dalam hati kita. Iya, membersihkan hati kita.

Kita seringkali sibuk membersihkan pakaian kita, membersihkan kendaraan kita, membersihkan rumah tempat tinggal kita. Tapi kita seringkali melupakan membersihkan hati kita. Hati yang pada dasarnya memang suci bersih.

Untuk bisa membersihkan hati, jelas kita harus menyadari apa saja yang bisa mengotori hati kita. Lalu dengan segera membersihkannya. Karena tanpa hati yang bersih, nikmatnya bertafakur hilang, sejuknya bersujud jua tak terasa, syahdunya mengadu tak terasa, khusyuknya bermesra dengan-Nya juga tak ada. Semua terasa datar dan hampa. Karena disebabkan oleh hati kita yang penuh penyakit. Dan banyak dari penyakit itu datang dari pengharapan-pengharapan kita pada manusia. Kita menggantungkan penilaian pada manusia, bukan pada Allah Azza Wa Jalla.

Kenapa jika ada orang menghina, kita marah? Karena pada dasarnya kita ingin dipuji. Bukan karena hinaan itu kita marah lalu murka. Tapi karena kecintaan kita akan pujian, kecintaan kita akan pengakuan dan jua kecintaan kita akan popularitas duniawi. Seandainya kita mau berhitung, hinaan itu masih seringkali terlalu mulia untuk kita yang memang benar-benar hina ini. Maka jawaban terbaik untuk seorang penghina adalah “sungguh hinaan itu adalah pujian bagiku, karena sebenarnya aku masih jauh lebih mengerikan dari itu”.

Rasulullah nan mulia bergelar Al-Amin dari kaum Quraisy saja masih dihina, dicaci, diludahi. Beliau sebenar-benar manusia mulia. Beliau penuh kebaikan, beliau sallallahu alaihi wasallam. Tapi hinaan terus menyertai beliau. Apalagi kita yang hina betulan, kenapa kita merasa marah sekali saat dihina?

Lalu kenapa juga di dunia ini ada sebutan orang pelit? Apakah sebutan pelit itu memang relevan atau hanya pelabelan kita kepada orang lain yang kita harapkan memberi tapi malah tidak memberi? Nah itulah salah satu lagi bentuk pengharapan kita pada manusia. Jika ada orang yang tidak mau memberi kepada kita, bukan berarti orang itu pelit, tapi karena kitalah yang terlalu berharap untuk diberi. Kita mengharapkan pemberian manusia. Penyakit hati.

Maka mari kita periksa kembali ke dalam hati kita, sudah sebanyak apa bercak yang ada di dalamnya. Mari juga kita cek setiap tafakur kita, sujud kita, apakah masih terasa nikmatnya atau hanya terasa hambar saja.

Dan cara terbaik membersihkan hati adalah dengan memperbanyak istigfar, bertaubat lalu mengakui kehinaan kita di hadapan yang Maha Mulia.

Catatan:

SAYA meminta maaf karena menggunakan judul yang tidak ada hubungannya dengan tulisan di atas—hanya supaya Anda mudah menemukannya melalui Google. Saya berjanji untuk tidak melakukan kebodohan semacam itu lagi.

Terima Kasih, Sudah Berkenan Membaca

Jika Manfaat, mari bagikan ^^

Comments

4 comments:

  1. nak koment la.. boleh?

    1. judulnya sebuah jebakan. Ya jebakan yang menjerumuskan ke arah kebaikan :D krea(k)tif yaa.. #hehe, tapi kok MEIDA SAFIRA ya? #abaikan.
    2. isinya keren, menasehati tanpa menggurui
    3. Terimakasih yaa.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, terima kasih syudah berkunjung kak :)
      kenapa meyda safira? gak tau juga kak, refleks aja pas ngetik :D

      Delete

Bagaimana Menurut mu? :)